Sekolah untuk NILAI?

Untuk apa bersekolah? Mungkin Anda akan berpikiran 'Tentu saja untuk mencari ilmu.'. Ya, saya juga telah diberitahu oleh guru saya ketika saya masih SD tentang mengapa kita harus sekolah. Tapi, kenapa saya malah membuat sebuah tulisan yang dilandasi pertanyaan tersebut?
Akhir-akhir ini saya sering sekali memikirkan hal tersebut dan mulai tak begitu setuju tentang sekolah untuk mencari ilmu.
Dulu ketika saya baru memasuki Taman Kanak-Kanak (TK) saya sangat amat senang. Saya bisa mempunyai dan bermain dengan teman sebaya saya, bernyanyi, berjalan-jalan, dan senam bersama. Rasanya saya sangat sedih ketika masa liburan panjang tiba.
Ketika saya telah melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) semangat saya pun tak berkurang dan mulai lebih serius. Di SD saya dan teman-teman di perkenalkan tentang adanya ulangan harian dan ulangan semester atau ujian kenaikan kelas yang diadakan setiap akhir semester. Guru saya mengatakan bahwa ulangan adalah tolak ukur sebatas apa kemampuan kita terhadap suatu pelajaran dan kita akan mendapatkan sebuah nilai, nilai adalah gambaran jelas seberapa besar kita memahami pelajaran tersebut, jika nilai kita bagus kita adalah anak rajin dan pintar.
Pada masa kelas 1 dan 2 tidak ada yang namanya contek-mencontek, mencontek adalah hal yang tabu bagi seluruh siswa, semuanya belajar sekeras yang mereka mampu.
Namun semakin naiknya tingkat kelas, saya dan teman-teman semakin gila tentang nilai, kunci ketabuan contek mencotek telah terlepas. Nilai adalah segalanya. Bahkan guru di kelas sering membandingkan nilai murid yang satu dengan yang satu lagi.
Di masa-masa SD nafsu belajar saya bisa dibilang di tahap puncak, saya selalu belajar dengan rajin dan mengerjakan semua pr dari guru dengan sungguh-sungguh dan akhirnya dari kelas 4 hingga akhir SD saya selalu meraih juara terbaik di kelas. Saya senang tentu saja, dengan tingginya nilai-nilai saya yang tercetak di buku raport dan membanggakan orang tua.
Ketika semester 2 untuk kelas 6 dimulai, semua guru dan murid di sibukkan dengan adanya UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional), UASBN itu terdapat tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA.
Guru saya mengatakan jika saya dan teman-teman ingin lulus saya harus bisa mencapai target kelulusan tiga mata pelajaran tersebut.
Ketika itu saya bingung, jika ingin lulus dari SD hanya berdasarkan tiga mata pelajaran tersebut untuk apa saya mencari dan mendapat nilai raport selama 6 tahun di SD? Kenapa saya harus belajar pelajaran lain? Dan apakah pelajaran lain tersebut tidak dianggap untuk bisa meluluskan saya?
Oleh karena itu di hari-hari menjelang UASBN beredar banyak kunci jawaban.
Masuk ke SMP semangat belajar saya telah hilang sedikit demi sedikit. Namun di SMP pelajaran menjadi semakin sulit dan banyak, guru dan murid di tuntut harus menyelesaikan materi yang menurut saya sangat 'bejibun' dalam waktu yang sangat singkat dengan tagihan nilai yang berteriak minta diisi. Jadi fungsi sekolah saat itu di mata saya hanya sebagai wadah untuk mencari nilai. Ketika ulangan tiba, kami tidak mempersiapkan dengan baik diri kami untuk ulangan, namun memikirkan cara bagaimana mencontek agar tidak ketahuan guru.
"Nyontek aja, daripada nilai lo jelek" itu adalah kata-kata yang sangat sering dikumandangkan ketika waktu ulangan harian tiba.
Di penghujung SMP saya dan teman-teman kembali merasakan bagaimana ujian kelulusan yang bernama UN (Ujian Nasional) atau menurut saya ujian nilai. Peraturannya masih sama ketika UASBN dulu, yaitu kita harus lulus dalam mata pelajaran yang diujikan. Mata pelajaran yang diujikan di SMP sama dengan SD namun dengan tambahan Bahasa Inggris. 
Rasanya waktu itu saya sangat bingung, saya SMP selama tiga tahun namun nasib saya hanya ditentukan oleh 4 hari ujian, 4 kertas ujian dengan 4 lembar jawaban komputer, dan 4 pasang pengawas yang berbeda-beda. Untuk apa saya smp 3 tahun kalau begitu? 
Sekte yang paling kuat pada jaman itu adalah 'Nilai Ijazah menentukan nasib elo, nilai bagus elo lulus, nilai sangat bagus elo dapet SMA Negri' 
Untuk mendapatkan SMA negeri kami harus mendapat nem (Kumpulan nilai mata pelajaran yang diujikan di UN) yang bagus. Pada saat itu bocoran/kunci jawaban bukanlah sesuatu yang tabu lagi. Mungkin di waktu SD yang menggunakan bocoran hanya yang mental atau nyali gede, namun ketika SMP saya yakin lebih dari 70% siswa menggunakan kunci jawaban. Mereka berjuang untuk mendapatkan bocoran tersebut, bahkan membelinya dengan harga yang fantastis. Jika Anda yang membaca tulisan ini adalah orang yang menentang dengan yang namanya mencontek mungkin Anda tidak satu pemikiran dengan saya saat ini.
Saat ini saya sangat memaklumi kenapa para peserta UN sangat berusaha untuk mendapatkan bocoran walaupun mereka telah belajar, mereka hanya remaja labil yang takut kalau NILAI mereka jelek dan tidak lulus. Sebagian dari mereka harus mendapatkan SMA Negri. Jika NILAI mereka jelek mereka tidak akan diterima. Jika mereka tidak lulus mereka harus mengulang kembali dan mempermalukan sekolah dan pastinya orangtua dan keluarga. Bahkan saya yakin saat ini ada sekolah yang memberikan kunci jawaban agar NILAI anak didik mereka fantastis dan sekolah mereka mendapat predikat sekolah bagus.
Masuk ke SMA di otak saya sekolah saat ini bukanlah wadah untuk menuntut ilmu, namun untuk mendapat nilai raport dan ijazah.
Saya mempelajari sesuatu untuk ulangan—saya menjalani ulangan—saya mendapat NILAI—saya lupa apa yang saya pelajari. Itu adalah siklus belajar saya saat ini (Saya masih SMA). Jika ada pr saya mengerjakan pr tersebut tanpa tahu apa yang saya tulis dan untuk apa materi yang saya tulis tersebut. Banyaknya tagihan dan tugas untuk mengisi NILAI raport saya membuat saya stress. Saya pernah membuat tugas biologi sepanjang 2 kertas folio tanpa tahu apa gunanya saya mempelajari hal tersebut.
Dan sebaliknya jika mengerjakan latihan di LKS (Lembar Kerja Siswa) semua soal jawaban pertanyaan di dalam buku tersebut ada di samping halaman pertanyaan. Hal itu membuat saya dan teman-teman hanya menyalin jawaban tanpa tahu 'isi' dari pelajaran tersebut.
Di akhir semester saya kelas 1 saya dan teman-teman dipusingkan dengan jurusan apa yang kita pilih, ada IPA dan IPS. 
Telah menjadi stereotipe masyarakat bahwa anak-anak IPA adalah anak-anak cerdas, dan anak-anak IPS adalah anak-anak buangan yang tidak diterima di IPA.
Saya seorang anak IPS, saya tidak mau masuk IPA karena saya tidak suka dengan 'keribetan', 'stuck dengan rumus', dan pastinya 'hitung-hitungan'.
Jika di IPA pemikiran saya tidak sampai dengan nalar anak IPA, menurut saya kenapa kita harus mengukur kecepan suatu mobil (fisika), kan bisa saja jalannya macet atau terlalu licin? #OOT
Menurut pemikiran saya yang gak mau mikir ribet saya lebih suka yang menurut saya real dengan hidup (pasti anak IPS sejati mengerti).
Saya mengakui bahwa anak IPA itu anak yang cerdas-cerdas, mungkin jika dibandingkan dengan anak IPA saya bukanlah apa-apanya.
Di SMA saya sudah tidak memikirkan apa yang saya pelajari lagi. 'Sekolah itu tempat nyari nilai' itulah moto saya ketika bersekolah sekarang.
Yang saya nantikan saat ini adalah ijazah saya, bukan ilmu yang saya nantikan. Saya tidak.mau munafik untuk hal ini.
Bahkan seorang teman saya yang anti mencontek dan dengan moto hidup 'sekolah untuk belajar dan mencari ilmu saja' terpaksa mencontek ketika ia tak tau lagi harus bagaimana untuk menjawab ulangan. Ulangan untuk mendapatkan NILAI bukan?

Di antara para pembaca pasti pernah bertanya, kenapa sih harus belajar aljabar, trigonometri, pangkat akar, dll dalam matematika padahal yang kita perlukan di kehidupan nyata adalah materi dasar SD yaitu kali-bagi-tambah-kurang. Untuk apa kita mencari nilai x yang tak ada habis-habisnya itu?
Saya tahu jawabannya. Simpel. Hanya untuk mendapatkan NILAI raport di subjek Matematika.

Jadi kesimpulan saya, saat ini tujuan sekolah sudah sangat amat berubah, bukan untuk mencari ILMU tapi untuk mencari NILAI.

Jadi saya pikir kurikulum Indonesia harus diubah menjadi lebih baik. Supaya tidak ada lagi yang berpikiran seperti saya.

Jika para pembaca tidak setuju dengan post saya kali ini itu adalah hak Anda, saya hanya mengeluarkan unek-unek saya. 

Terimakasih telah membaca :)

Indriyani Faisal
Ciledug,Tangerang Rabu, 29 Mei 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS