Sekolah untuk NILAI?

Untuk apa bersekolah? Mungkin Anda akan berpikiran 'Tentu saja untuk mencari ilmu.'. Ya, saya juga telah diberitahu oleh guru saya ketika saya masih SD tentang mengapa kita harus sekolah. Tapi, kenapa saya malah membuat sebuah tulisan yang dilandasi pertanyaan tersebut?
Akhir-akhir ini saya sering sekali memikirkan hal tersebut dan mulai tak begitu setuju tentang sekolah untuk mencari ilmu.
Dulu ketika saya baru memasuki Taman Kanak-Kanak (TK) saya sangat amat senang. Saya bisa mempunyai dan bermain dengan teman sebaya saya, bernyanyi, berjalan-jalan, dan senam bersama. Rasanya saya sangat sedih ketika masa liburan panjang tiba.
Ketika saya telah melanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) semangat saya pun tak berkurang dan mulai lebih serius. Di SD saya dan teman-teman di perkenalkan tentang adanya ulangan harian dan ulangan semester atau ujian kenaikan kelas yang diadakan setiap akhir semester. Guru saya mengatakan bahwa ulangan adalah tolak ukur sebatas apa kemampuan kita terhadap suatu pelajaran dan kita akan mendapatkan sebuah nilai, nilai adalah gambaran jelas seberapa besar kita memahami pelajaran tersebut, jika nilai kita bagus kita adalah anak rajin dan pintar.
Pada masa kelas 1 dan 2 tidak ada yang namanya contek-mencontek, mencontek adalah hal yang tabu bagi seluruh siswa, semuanya belajar sekeras yang mereka mampu.
Namun semakin naiknya tingkat kelas, saya dan teman-teman semakin gila tentang nilai, kunci ketabuan contek mencotek telah terlepas. Nilai adalah segalanya. Bahkan guru di kelas sering membandingkan nilai murid yang satu dengan yang satu lagi.
Di masa-masa SD nafsu belajar saya bisa dibilang di tahap puncak, saya selalu belajar dengan rajin dan mengerjakan semua pr dari guru dengan sungguh-sungguh dan akhirnya dari kelas 4 hingga akhir SD saya selalu meraih juara terbaik di kelas. Saya senang tentu saja, dengan tingginya nilai-nilai saya yang tercetak di buku raport dan membanggakan orang tua.
Ketika semester 2 untuk kelas 6 dimulai, semua guru dan murid di sibukkan dengan adanya UASBN (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional), UASBN itu terdapat tiga mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan IPA.
Guru saya mengatakan jika saya dan teman-teman ingin lulus saya harus bisa mencapai target kelulusan tiga mata pelajaran tersebut.
Ketika itu saya bingung, jika ingin lulus dari SD hanya berdasarkan tiga mata pelajaran tersebut untuk apa saya mencari dan mendapat nilai raport selama 6 tahun di SD? Kenapa saya harus belajar pelajaran lain? Dan apakah pelajaran lain tersebut tidak dianggap untuk bisa meluluskan saya?
Oleh karena itu di hari-hari menjelang UASBN beredar banyak kunci jawaban.
Masuk ke SMP semangat belajar saya telah hilang sedikit demi sedikit. Namun di SMP pelajaran menjadi semakin sulit dan banyak, guru dan murid di tuntut harus menyelesaikan materi yang menurut saya sangat 'bejibun' dalam waktu yang sangat singkat dengan tagihan nilai yang berteriak minta diisi. Jadi fungsi sekolah saat itu di mata saya hanya sebagai wadah untuk mencari nilai. Ketika ulangan tiba, kami tidak mempersiapkan dengan baik diri kami untuk ulangan, namun memikirkan cara bagaimana mencontek agar tidak ketahuan guru.
"Nyontek aja, daripada nilai lo jelek" itu adalah kata-kata yang sangat sering dikumandangkan ketika waktu ulangan harian tiba.
Di penghujung SMP saya dan teman-teman kembali merasakan bagaimana ujian kelulusan yang bernama UN (Ujian Nasional) atau menurut saya ujian nilai. Peraturannya masih sama ketika UASBN dulu, yaitu kita harus lulus dalam mata pelajaran yang diujikan. Mata pelajaran yang diujikan di SMP sama dengan SD namun dengan tambahan Bahasa Inggris. 
Rasanya waktu itu saya sangat bingung, saya SMP selama tiga tahun namun nasib saya hanya ditentukan oleh 4 hari ujian, 4 kertas ujian dengan 4 lembar jawaban komputer, dan 4 pasang pengawas yang berbeda-beda. Untuk apa saya smp 3 tahun kalau begitu? 
Sekte yang paling kuat pada jaman itu adalah 'Nilai Ijazah menentukan nasib elo, nilai bagus elo lulus, nilai sangat bagus elo dapet SMA Negri' 
Untuk mendapatkan SMA negeri kami harus mendapat nem (Kumpulan nilai mata pelajaran yang diujikan di UN) yang bagus. Pada saat itu bocoran/kunci jawaban bukanlah sesuatu yang tabu lagi. Mungkin di waktu SD yang menggunakan bocoran hanya yang mental atau nyali gede, namun ketika SMP saya yakin lebih dari 70% siswa menggunakan kunci jawaban. Mereka berjuang untuk mendapatkan bocoran tersebut, bahkan membelinya dengan harga yang fantastis. Jika Anda yang membaca tulisan ini adalah orang yang menentang dengan yang namanya mencontek mungkin Anda tidak satu pemikiran dengan saya saat ini.
Saat ini saya sangat memaklumi kenapa para peserta UN sangat berusaha untuk mendapatkan bocoran walaupun mereka telah belajar, mereka hanya remaja labil yang takut kalau NILAI mereka jelek dan tidak lulus. Sebagian dari mereka harus mendapatkan SMA Negri. Jika NILAI mereka jelek mereka tidak akan diterima. Jika mereka tidak lulus mereka harus mengulang kembali dan mempermalukan sekolah dan pastinya orangtua dan keluarga. Bahkan saya yakin saat ini ada sekolah yang memberikan kunci jawaban agar NILAI anak didik mereka fantastis dan sekolah mereka mendapat predikat sekolah bagus.
Masuk ke SMA di otak saya sekolah saat ini bukanlah wadah untuk menuntut ilmu, namun untuk mendapat nilai raport dan ijazah.
Saya mempelajari sesuatu untuk ulangan—saya menjalani ulangan—saya mendapat NILAI—saya lupa apa yang saya pelajari. Itu adalah siklus belajar saya saat ini (Saya masih SMA). Jika ada pr saya mengerjakan pr tersebut tanpa tahu apa yang saya tulis dan untuk apa materi yang saya tulis tersebut. Banyaknya tagihan dan tugas untuk mengisi NILAI raport saya membuat saya stress. Saya pernah membuat tugas biologi sepanjang 2 kertas folio tanpa tahu apa gunanya saya mempelajari hal tersebut.
Dan sebaliknya jika mengerjakan latihan di LKS (Lembar Kerja Siswa) semua soal jawaban pertanyaan di dalam buku tersebut ada di samping halaman pertanyaan. Hal itu membuat saya dan teman-teman hanya menyalin jawaban tanpa tahu 'isi' dari pelajaran tersebut.
Di akhir semester saya kelas 1 saya dan teman-teman dipusingkan dengan jurusan apa yang kita pilih, ada IPA dan IPS. 
Telah menjadi stereotipe masyarakat bahwa anak-anak IPA adalah anak-anak cerdas, dan anak-anak IPS adalah anak-anak buangan yang tidak diterima di IPA.
Saya seorang anak IPS, saya tidak mau masuk IPA karena saya tidak suka dengan 'keribetan', 'stuck dengan rumus', dan pastinya 'hitung-hitungan'.
Jika di IPA pemikiran saya tidak sampai dengan nalar anak IPA, menurut saya kenapa kita harus mengukur kecepan suatu mobil (fisika), kan bisa saja jalannya macet atau terlalu licin? #OOT
Menurut pemikiran saya yang gak mau mikir ribet saya lebih suka yang menurut saya real dengan hidup (pasti anak IPS sejati mengerti).
Saya mengakui bahwa anak IPA itu anak yang cerdas-cerdas, mungkin jika dibandingkan dengan anak IPA saya bukanlah apa-apanya.
Di SMA saya sudah tidak memikirkan apa yang saya pelajari lagi. 'Sekolah itu tempat nyari nilai' itulah moto saya ketika bersekolah sekarang.
Yang saya nantikan saat ini adalah ijazah saya, bukan ilmu yang saya nantikan. Saya tidak.mau munafik untuk hal ini.
Bahkan seorang teman saya yang anti mencontek dan dengan moto hidup 'sekolah untuk belajar dan mencari ilmu saja' terpaksa mencontek ketika ia tak tau lagi harus bagaimana untuk menjawab ulangan. Ulangan untuk mendapatkan NILAI bukan?

Di antara para pembaca pasti pernah bertanya, kenapa sih harus belajar aljabar, trigonometri, pangkat akar, dll dalam matematika padahal yang kita perlukan di kehidupan nyata adalah materi dasar SD yaitu kali-bagi-tambah-kurang. Untuk apa kita mencari nilai x yang tak ada habis-habisnya itu?
Saya tahu jawabannya. Simpel. Hanya untuk mendapatkan NILAI raport di subjek Matematika.

Jadi kesimpulan saya, saat ini tujuan sekolah sudah sangat amat berubah, bukan untuk mencari ILMU tapi untuk mencari NILAI.

Jadi saya pikir kurikulum Indonesia harus diubah menjadi lebih baik. Supaya tidak ada lagi yang berpikiran seperti saya.

Jika para pembaca tidak setuju dengan post saya kali ini itu adalah hak Anda, saya hanya mengeluarkan unek-unek saya. 

Terimakasih telah membaca :)

Indriyani Faisal
Ciledug,Tangerang Rabu, 29 Mei 2013

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

Fanfic: Another End



A HARRY POTTER FANFICTION


-ANOTHER END-
Story by Infaramona
Harry Potter belongs to Joanne Kathleen Rowling
Harry Potter/Hermione Granger
Hurt/Comfort/Friendship/Angst
Warning: OOC, typo(s), gaje, dll
Beta-ed by Chellesemere *peluk kak Chels)

---ENJOY---

Sunyi. Senyap. Dingin…
Segala helaan napas, deru langkah, dan semua kehidupan hanya bertumpu pada satu titik.

Aula Besar

Mungkin tak akan ada yang menyadari kehadirannya, bahkan jika suasana terasa sangat sunyi dan senyap sekali pun. Mungkin memang begitulah yang seharusnya. Tak akan ada yang mengetahui langkah pelannya menuju kematian.

Rasa hati yang sesak, berat, dan berteriak keras tak lagi dihiraukannya―napas kehidupan yang selama ini ia rintis, helai demi helai terajut membentuk benang merah kehidupan. Yang diinginkannya dalam hidupnya saat ini hanya satu―bukan permintaan yang muluk, hanya sebuah permintaan biasa; yaitu menjadi anak normal. Masa kecilnya yang seharusnya menyenangkan, telah dirampas dengan kejam oleh seorang pencuri kecil yang sangat suka bermain-main dengan nyawa manusia.

Dan ironisnya, bukannya menghindar dari pencuri kecil itu, ia malah akan memberikan nyawanya sendiri kepada pencuri itu.
Untuk kebaikan yang lebih besar. Menggelikan.

Dia tahu makna dari peribahasa ‘untuk kebaikan yang lebih besar’ itu. Dan dia mengerti bahwa saat ini bukanlah waktu untuk mengorbankan banyak nyawa demi dunia yang telah rusak ini. Karena sungguh, hanya ada satu nyawa yang perlu dikorbankan, satu nyawa yang tak berguna sama sekali―nyawanya.

Dan sekarang ia di sini. Berjalan dengan deru napas yang berdetak begitu kencang serta badan yang menggigil hebat, yang bukan disebabkan oleh dinginnya angin malam.

Mungkin takdirnya memang harus seperti ini. Hidup dengan bayang-bayang kematian dalam setiap langkah hidupnya, dengan bayang-bayang seorang pencuri nyawa yang sangat menginginkan kematiannya. Mimpi masa depan―menjadi pemuda normal―yang selalu diinginkannya, akan berakhir malam ini. Tak ada masa depan yang cerah dan menyenangkan yang menantinya. Hanya bayang-bayang kematian.

Tumbuh tanpa kasih sayang tidak membuatnya menjadi manusia yang tak berhati. Dia masih bisa merasakan sebuah kebahagiaan. Tetapi saat ini, ketika akhirnya ia mendapatkan setitik cinta di sebuah tempat―Hogwarts, tempat yang memiliki arti rumah yang sebenarnya baginya, tempat yang bisa disebut rumah oleh Riddle dan Snape, serta mungkin ribuan anak-anak terlantar lainnya―ia harus rela melepaskannya. Dan ia tidak menyesal. Di sela gebuan deru napas menjelang kematiannya, masih ada secercah kebahagiaan yang menghampirinya. Karena ia tahu, ia akan mati di Hogwarts. Di rumahnya.

Ia hanya berharap bahwa teman-temannya akan meneruskan tugas Dumbledore yang terakhir, yaitu memusnahkan horcrux terakhir milik Voldemort―Nagini. Ia telah memberitahu Neville bahwa ia harus membunuh ular keparat tersebut, ia berharap Neville dapat menggantikan tugasnya setelah ia mati nanti. Tanpa adanya Nagini, mematahkan batang leher Riddle akan menjadi pekerjaan yang mudah bagi Ron dan Hermione.

Jantungnya melompat memukul-mukul rusuknya seperti burung yang panik. Barangkali jantungnya tahu waktunya hanya tinggal sedikit, barangkali dia bertekad untuk memenuhi denyut seumur hidup sebelum saat akhirnya tiba. 1)

Dan keinginannya yang terdalam saat ini bukanlah berlari dari hukuman matinya yang akan berlangsung sebentar lagi, tetapi untuk menyatakan perasaannya yang sebenarnya kepada Hermione. Bahwa ia mencintai gadis itu.

Ya, dia mengakui. Dia memang mencintai gadis bermata cokelat indah itu, mungkin bahkan sejak mereka pertama kali bertemu. Saat itu dia masih belum menyadari bagaimana perasaannya yang sebenarnya kepada gadis itu. Perasaan itu muncul begitu saja pada insiden Troll di tahun pertamanya. Ia masih bisa mengingat dengan jelas betapa panik dirinya, ketika ia mengetahui bahwa Hermione berada di toilet anak perempuan bersama Troll itu―ia ingin menyelamatkan gadis itu pada saat itu juga. Dan diam-diam, ia sangat berterima kasih kepada Quirrell. Karena jika laki-laki itu tidak melepaskan Troll sialan itu, mungkin ia tak akan pernah bisa bersahabat dengan gadis itu.

Dan ketika ia mulai menginjak usia yang telah cukup dewasa, ia mulai menyadari bahwa ia tak hanya menginginkan Hermione menjadi sahabatnya saja, ia menginginkan lebih. Dan ia harus merasakan hatinya pecah berkeping-keping ketika ia melihat gadis itu di tahun keempatnya, berdansa dengan Viktor Krum. Ia tahu ia telah kalah. Mana mungkin ia bersaing dengan seorang atlet Quidditch terkenal seperti itu, seorang pemuda tampan yang menjadi incaran setiap gadis yang waras. Sampai sekarang pun ia masih bisa bersumpah, bahwa ia masih bisa mengingat bagaimana anggunnya Hermione pada saat itu.

Satu-satunya hal yang menjadi masalahnya sampai saat ini hanyalah Ron. Ia tahu Ron telah menaruh hati kepada Hermione ketika sahabatnya itu menyadari bahwa Hermione adalah seorang ‘gadis’ pada tahun keempat mereka. Bahkan bersaing dengan Viktor Krum pun mungkin tak akan ada apa-apanya jika dibandingkan harus bersaing dengan Ron. Ron adalah teman pertamanya. Sahabat pertamanya.

Di tahun kelima dan keenamnya ia mulai mencoba untuk membuka hatinya untuk gadis lain. Mencoba menjadi pemuda normal yang mulai gila dengan satu hal yang disebut cinta monyet. Ia mencoba menaruh hatinya kepada Cho Chang dan Ginny Weasley. Tetapi ia tahu, ia tak akan pernah bisa mencintai mereka seperti ia mencintai Hermione.
Dan hatinya kembali hancur berkeping-keping ketika ia melihat reaksi Hermione kepada Ron yang saat itu berkencan dengan Lavender Brown. Sikap itu telah membuktikan bahwa ia telah benar-benar kalah. Hermione menyukai Ron, begitu juga sebaliknya. Ron berkencan dengan Lavender hanya didasari oleh hasrat semata, bukan cinta. Ia tahu bahwa Ron masih sangat mencintai Hermione.
Ia sebagai sahabat harus turut berbahagia jika kedua sahabat baiknya akhirnya menjadi sepasang kekasih. Walaupun hatinya berteriak, ia harus merelakannya. Ron pemuda yang baik, bahkan sangat baik. Jadi, jika Hermione tak bisa berbahagia bersama dirinya, paling tidak gadis itu bisa berbahagia bersama Ron. Dan melihat Hermione berbahagia adalah sumber asupan oksigen terbesar bagi paru-parunya.
Langkah demi langkah menuju kematiannya ia habiskan dengan memikirkan Hermione. Mungkin harapannya untuk membahagiakan gadis itu memang sudah kandas, tetapi paling tidak masih ada Ron yang bisa meneruskan harapannya.

oOoOo

Harry menyeret kedua kakinya menuju tempat keberadaan Voldemort―sang algojo yang akan membunuhnya nanti. Saat menuruni tangga, ia melihat kedua sahabatnya duduk berdua sambil berpelukan di salah satu anak tangga, saling melindungi. Dan ia hanya bisa tersenyum pahit melihat mereka. Dengan mengenakan Jubah Gaib peninggalan ayahnya, ia menuruni tangga tersebut dengan sangat pelan dan berhati-hati agar kedua sahabatnya itu tak menyadari keberadaanya. Sebagian dirinya menginginkannya untuk kembali dan mencari jalan lain menuju hutan terlarang, sedangkan sebagian dirinya yang lain menginginkannya untuk melihat wajah kedua sahabatnya itu―terutama Hermione― untuk terakhir kalinya.
Tetapi dia menyadari, hal terakhir yang ia inginkan saat ini adalah wajah penuh ketakutan dan kesedihan dari kedua sahabatnya itu. Dan akhirnya ia memutuskan bahwa ia akan menghadapi kematian seorang diri. Ia tak ingin mereka berdua mencegahnya.
Jika di dunia Muggle orang yang akan dihukum mati bisa mendapatkan permintaanterakhirnya, ia juga ingin mendapatkan hal itu. Kalau ia bisa, ia ingin berdansa dengan Hermione―seperti di tenda dulu. Itu adalah momen paling membahagiakan dalam hidupnya. Hanya sekejap memang, tetapi begitu membekas di hatinya.

Pelan tapi pasti, akhirnya ia berhasil melewati anak tangga di mana kedua sahabatnya itu sedang duduk sambil berpelukan. Deru napas lega baru saja ia hembuskan ketika ia mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.

“Harry, kaukah itu?” kata Hermione. Gadis itu tiba-tiba berdiri dan menatap ke arah Harry.

Dengan jantung yang semakin berdebar keras, Harry berusaha untuk pergi menjauh. Tetapi kedua kakinya membeku dan tak mau bergerak dari tempatnya berpijak saat ini.

“Harry! Aku tahu kau berada di situ. Aku tahu kau ada di balik Jubah Gaibmu. Aku dapat mendengar hembusan napasmu.” Hermione kembali berteriak dan mencoba menggapai-gapai ke arahnya. “Buka jubahmu, Harry!”
Hermione masih menggapai-gapai ke arahnya, dan Ron hanya diam saja dengan ekspresi penasaran serta takut di wajah pemuda itu. Harry masih diam membeku, kakinya terasa melekat erat di lantai dingin kastil tersebut.

“Harry!”

Dengan pasrah dan kenekatan ciri khas Gryffindor, Harry segera membuka Jubah Gaibnya dan memandang lurus kedua sahabatnya. Jantungnya masih berdetak kencang, dan dia bisa merasakan wajahnya agak memanas karena malu.

“Kenapa kau bisa tahu?” tanya Harry dengan nada datar untuk menyembunyikan kecemasannya.

“Kenapa aku bisa tahu? Itu pertanyaan paling bodoh yang pernah kudengar, Harry!” jawab Hermione galak. Gadis itu menatap Harry dengan kedua mata cokelat yang sangat disukai oleh pemuda itu. “Pertanyaan yang sebenarnya adalah, kenapa kau mengendap-endap sambil memakai Jubah Gaibmu seperti itu? Apa yang sedang kau sembunyikan? Jangan bilang kau―”
Ucapan Hermione langsung terhenti. Pandangannya yang galak langsung berubah nanar seakan mau menangis. Dan tiba-tiba saja, gadis itu langsung memeluk Harry, menangis di bahu pemuda itu.

“Shhh… Her-Hermione, kenapa kau menangis seperti ini?” kata Harry serak, pura-pura tak tahu.

“Seharusnya kau jawab dulu pertanyaan dari Hermione tadi, Harry. Kenapa kau bertingkah seperti itu? Apakah kau mau menyerahkan dirimu begitu saja kepadaVoldemort? Jawab aku!” kata Ron. Pemuda itu akhirnya ikut berbicara dengan suara yang tak kalah serak, ia tadi menangisi kematian Fred. “Apakah menurutmu perjuangan kita sejak tadi itu sia-sia, hah? Semua orang berjuang untuk menyingkirkan You-Know-Who dan membantumu! Dan apa yang kau lakukan sekarang? Memberikan nyawamu begitu saja padanya?”

Harry terpaku diam di tempatnya berdiri saat itu. Suaranya tercekat. Jika ia bisa memilih, ia tak akan mau menjadi salah satu bagian tubuh si brengsek tak berhidung itu. Tangannya masih membelai lembut punggung Hermione yang sedang memeluknya erat. Dia tak tahu harus bagaimana. Ini adalah hal paling terakhir yang diinginkannya sebelum ia mati, yaitu kedua sahabatnya―khususnya Hermione, menangisi kepergiannya.

“Jawab, Harry!” kata Ron mulai tidak sabar. “Menurutmu mengapa kami terus berjuang? Menurutmu kenapa Fred, Remus, dan Tonks rela mati di perang ini? Menurutmu kenapa Harry?”

“Maafkan aku.”

“Kenapa kau minta maaf? Aku hanya bertanya, Harry,” kata Ron, menatap kedua mata Harry. “Aku tak ingin kehilangan saudara lagi, kau tahu?”
Sunyi. Senyap…

Harry tetap tak bisa menjawab pertanyaan dari Ron. Dia masih belum siap untuk memberitahukan kebenaran kepada kedua orang yang paling penting dalam hidupnya itu.

Hermione telah melepaskan pelukannya. Dan Harry hanya bisa termangu sedih melihat wajah gadis yang sangat dicintainya itu. Tak tampak lagi gadis ceria yang selalu tersenyum kepadanya. Yang ada hanyalah seorang gadis pejuang dengan noda-noda darah kering di sekitar wajahnya. Matanya memerah dan bengkak karena gadis itu menangis sejak tadi. Harry tak tega melihat Hermione seperti itu, ia harus segera mengakhiri semua ini. Ia ingin melihat gadis itu tersenyum bahagia lagi, seperti tahun-tahun yang telah mereka lewati dulu. Jika perang ini berakhir, penderitaan ini semua akan berakhir. Dan untuk mengakhiri semua penderitaan ini, maka ia harus mati.

“Apa yang kau lihat dalam memori Profesor Snape tadi Harry?” Hermione kembali membuka pembicaraan, suaranya serak dan ia hampir menangis lagi.

Harry terdiam, menunduk memandang lantai kastil. Ia tak tega untuk memberitahu kedua sahabatnya itu.
“Mungkin kau sudah tahu jawabannya, Hermione,” jawab Harry pelan, memberanikan diri untuk menatap kedua bola mata cokelat gadis itu. “Alasan aku dapat berbahasa ular dan dapat melihat ke dalam kepalanya, pasti kau tahu alasannya.”

Harry ingin segera pergi dari sini kalau ia bisa, ia tak sanggup melihat kedua wajah sahabatnya tersebut. Hermione berteriak, dan kembali memeluk Harry dengan erat. Ron juga sepertinya mulai mengerti apa yang terjadi, pemuda itu menundukkan kepalanya.

“Jangan katakan hal seperti itu padaku Harry James Potter!” kata Hermione di sela tangisannya. Gadis itu memeluk Harry semakin erat.

Dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya, Harry melepaskan Hermione yang memeluknya. Ia terkejut ketika melihat wajah gadis itu yang begitu rapuh dan kuyu.

“Aku mohon, Hermione. Jangan menangis,” kata Harry kepada Hermione. Dia tahu, dirinya sendiri pun sudah hampir tak mampu membendung air matanya. “Aku harus melakukan ini. Jka aku tak mati, maka ia juga tak akan mati. Sia-sia saja kita melawannya jika aku belum mati. Aku Horcrux-nya Hermione. Kau pasti mengerti.”
Ron terdiam. Pemuda itu hanya menatap lantai sambil sedikit terisak.

“Harry! Please, jangan lakukan itu,” kata Hermione masih terisak pelan, Ron memeluk pinggangnya. “Pasti ada cara lain, Harry. Kau jangan melakukan itu. A-aku, a-aku―”

Hermione sudah tak sanggup menahan tangisnya lagi, ia mengacuhkan pelukan Ron dan kembali memeluk Harry. Ia mengisak kencang di bahu Harry. Pemuda itu dapat merasakan air mata Hermione yang merembes di bajunya.
“Harry, please. Pasti ada cara lain.”
Harry tetap diam, dengan susah payah ia menahan air matanya agar tidak keluar. Ia balik memeluk Hermione, mengecup rambut cokelat mengembang gadis itu, dan tersenyum kecil. Ron masih terisak, dan ikut memeluk Harry sekuat tenaganya.
“Harry…”

“Sudahlah. Jangan menangisi hal ini. Aku mohon,” kata Harry sambil melepaskan pelukan kedua sahabatnya. “Aku dapat mengakhiri semua ini, aku dapat membalas kematian semua orang yang telah pergi karena dia. Aku hanya memohon kepada kalian―” belum sempat Harry menyelesaikan kalimatnya, Hermione telah menerjangnya kembali dengan pelukan yang hampir saja membuat pemuda itu terhuyung jatuh.

“Uhhh… Hermione, pelukanmu itu dapat membunuhku. Aku seharusnya mati di tangan Voldemort, bukan di tanganmu Hermione.” Harry masih berusaha untuk pura-pura tertawa dengan leluconnya sendiri. Dia tahu leluconnya itu sangat amat tidak lucu, tetapi ia berusaha untuk tertawa. Dan hasilnya, bibirnya hanya menampilkan sebuah senyuman miris.

“Aku hanya mohon satu hal kepada kalian―” Harry melepaskan pelukan Hermione lagi dan mencengkeram bahu gadis itu dengan tangan yang sedikit bergetar.
“Setelah aku mati nanti―tidak Hermione―aku mohon, kalian harus memenggal kepala ular keparat itu. Setelah itu, tinggal Avada Kedavra saja Voldemort, dan semuanya selesai. Dan… Aku mohon… Jangan menangis lagi.”

“Harry…”

“Harry…”

“Sudahlah, waktu satu jam yang diberikan oleh Voldemort sudah hampir habis. Aku harus pergi sekarang.” Harry berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya. Dia berusaha tersenyum kepada kedua sahabatnya itu―senyum terakhirnya. “Aku pergi dulu. Kuharap kalian mau memakamkanku di samping makam ayah dan ibuku nanti―”
“Harry… please, jangan…” Hermione kembali menghambur ke pelukan Harry. Meskipun ia mengerti kenapa Harry mau mengorbankan nyawanya, ia masih berusaha untuk menahan pemuda itu.
“Aku harus pergi, Hermione. Aku benar-benar minta maaf, dan… aku mencintaimu,” kalimat terakhir yang ia sebutkan itu sungguh berasal dari dalam hatinya, dan ia membisikkannya dengan sangat lembut di dekat telinga gadis itu.

Hermione menegang dalam pelukannya. Gadis itu melepaskan pelukannya. Ia menatap Harry dengan sedih dari balik matanya yang berkaca-kaca. Sementara Harry, ia masih tak mengerti bagaimana dirinya memiliki pasokan air mata sebanyak itu.

Harry kembali menyelubungkan Jubah Gaibnya. Dengan langkah berat, pemuda itu meninggalkan kedua sahabatnya yang masih terisak keras di belakangnya. Sebelum ia melangkahkan kakinya menuju takdir terakhirnya, ia sempat mendengar suara serak Ron yang berteriak, “Aku harap kau selamat.”

Harry tersenyum kecil. Ia tahu, cara kematian ini tak terlalu buruk baginya. Ia telah menyatakan perasaan terdalamnya kepada Hermione. Dan itu sudah cukup.

oOoOo

Perang Besar telah berakhir. Sang Penguasa Kegelapan telah dimusnahkan oleh para sahabat-sahabat The-Boy-Who-Lived. Sang Terpilih telah tewas karena mengorbankan nyawanya sendiri. 2)

Dan ia―sesuai keinginannya, dimakamkan di samping makam kedua orangtuanya, Godric’s Hollow. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang dan dari segala golongan. Semuanya menangis pilu di pemakamannya.

Hermione berdiri diam di samping makam Harry. Tak ada air mata lagi yang mengalir dari matanya. Ia berdiri diam, tampak rapuh dan hancur. Ia masih tak bisa menerima bahwa kedamaian dunia sihir dan kematian penjahat tak berhidung itu harus dibayar mahal oleh kematian orang yang sangat penting dalam hidupnya, Harry Potter.

“Aku juga mencintaimu, Harry,” kata Hermione dalam hati saat peti pemuda itu diturunkan. Dan seketika itu juga, butir-butir air mata keluar dari kedua bola mata cokelat madunya. “Seandainya saja kau mengatakannya sejak dulu―”
“Mungkin kisah ini akan berakhir lain,” bisik sebuah suara yang semakin lama semakin memudar.

- END -

1) Harry Potter dan Relikui Kematian hal. 914
2) Di fic ini Harry memilih untuk menaiki kereta saat ia diberi pilihan oleh Dumbledore di King Cross.
*Special Thanks buat kak Chels tersayang yang udah mau nge-Beta fic gaje ini :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS