A HARRY POTTER FANFICTION
-ANOTHER END-
Story by Infaramona
Harry Potter belongs to Joanne Kathleen Rowling
Harry Potter/Hermione Granger
Hurt/Comfort/Friendship/Angst
Warning: OOC, typo(s), gaje, dll
Beta-ed by Chellesemere *peluk kak Chels)
---ENJOY---
Sunyi. Senyap. Dingin…
Segala helaan napas, deru langkah, dan semua kehidupan hanya bertumpu pada satu titik.
Aula Besar
Mungkin tak akan ada yang menyadari kehadirannya, bahkan jika
suasana terasa sangat sunyi dan senyap sekali pun. Mungkin memang
begitulah yang seharusnya. Tak akan ada yang mengetahui langkah
pelannya menuju kematian.
Rasa hati yang sesak, berat, dan berteriak keras tak lagi
dihiraukannya―napas kehidupan yang selama ini ia rintis, helai demi
helai terajut membentuk benang merah kehidupan. Yang diinginkannya dalam
hidupnya saat ini hanya satu―bukan permintaan yang muluk, hanya sebuah
permintaan biasa; yaitu menjadi anak normal. Masa kecilnya yang
seharusnya menyenangkan, telah dirampas dengan kejam oleh seorang
pencuri kecil yang sangat suka bermain-main dengan nyawa manusia.
Dan ironisnya, bukannya menghindar dari pencuri kecil itu, ia malah akan memberikan nyawanya sendiri kepada pencuri itu.
Untuk kebaikan yang lebih besar. Menggelikan.
Dia tahu makna dari peribahasa ‘untuk kebaikan yang lebih besar’
itu. Dan dia mengerti bahwa saat ini bukanlah waktu untuk mengorbankan
banyak nyawa demi dunia yang telah rusak ini. Karena sungguh, hanya
ada satu nyawa yang perlu dikorbankan, satu nyawa yang tak berguna sama
sekali―nyawanya.
Dan sekarang ia di sini. Berjalan dengan deru napas yang
berdetak begitu kencang serta badan yang menggigil hebat, yang bukan
disebabkan oleh dinginnya angin malam.
Mungkin takdirnya memang harus seperti ini. Hidup dengan
bayang-bayang kematian dalam setiap langkah hidupnya, dengan
bayang-bayang seorang pencuri nyawa yang sangat menginginkan
kematiannya. Mimpi masa depan―menjadi pemuda normal―yang selalu
diinginkannya, akan berakhir malam ini. Tak ada masa depan yang cerah
dan menyenangkan yang menantinya. Hanya bayang-bayang kematian.
Tumbuh tanpa kasih sayang tidak membuatnya menjadi manusia yang
tak berhati. Dia masih bisa merasakan sebuah kebahagiaan. Tetapi saat
ini, ketika akhirnya ia mendapatkan setitik cinta di sebuah
tempat―Hogwarts, tempat yang memiliki arti rumah yang sebenarnya
baginya, tempat yang bisa disebut rumah oleh Riddle dan Snape, serta
mungkin ribuan anak-anak terlantar lainnya―ia harus rela melepaskannya.
Dan ia tidak menyesal. Di sela gebuan deru napas menjelang kematiannya,
masih ada secercah kebahagiaan yang menghampirinya. Karena ia tahu, ia
akan mati di Hogwarts. Di rumahnya.
Ia hanya berharap bahwa teman-temannya akan meneruskan tugas
Dumbledore yang terakhir, yaitu memusnahkan horcrux terakhir milik
Voldemort―Nagini. Ia telah memberitahu Neville bahwa ia harus membunuh
ular keparat tersebut, ia berharap Neville dapat menggantikan tugasnya
setelah ia mati nanti. Tanpa adanya Nagini, mematahkan batang leher
Riddle akan menjadi pekerjaan yang mudah bagi Ron dan Hermione.
Jantungnya melompat memukul-mukul rusuknya seperti burung yang
panik. Barangkali jantungnya tahu waktunya hanya tinggal sedikit,
barangkali dia bertekad untuk memenuhi denyut seumur hidup sebelum saat
akhirnya tiba. 1)
Dan keinginannya yang terdalam saat ini bukanlah berlari dari
hukuman matinya yang akan berlangsung sebentar lagi, tetapi untuk
menyatakan perasaannya yang sebenarnya kepada Hermione. Bahwa ia
mencintai gadis itu.
Ya, dia mengakui. Dia memang mencintai gadis bermata cokelat
indah itu, mungkin bahkan sejak mereka pertama kali bertemu. Saat itu
dia masih belum menyadari bagaimana perasaannya yang sebenarnya kepada
gadis itu. Perasaan itu muncul begitu saja pada insiden Troll di tahun
pertamanya. Ia masih bisa mengingat dengan jelas betapa panik dirinya,
ketika ia mengetahui bahwa Hermione berada di toilet anak perempuan
bersama Troll itu―ia ingin menyelamatkan gadis itu pada saat itu juga.
Dan diam-diam, ia sangat berterima kasih kepada Quirrell. Karena jika
laki-laki itu tidak melepaskan Troll sialan itu, mungkin ia tak akan
pernah bisa bersahabat dengan gadis itu.
Dan ketika ia mulai menginjak usia yang telah cukup dewasa, ia
mulai menyadari bahwa ia tak hanya menginginkan Hermione menjadi
sahabatnya saja, ia menginginkan lebih. Dan ia harus merasakan hatinya
pecah berkeping-keping ketika ia melihat gadis itu di tahun keempatnya,
berdansa dengan Viktor Krum. Ia tahu ia telah kalah. Mana mungkin ia
bersaing dengan seorang atlet Quidditch terkenal seperti itu, seorang
pemuda tampan yang menjadi incaran setiap gadis yang waras. Sampai
sekarang pun ia masih bisa bersumpah, bahwa ia masih bisa mengingat
bagaimana anggunnya Hermione pada saat itu.
Satu-satunya hal yang menjadi masalahnya sampai saat ini
hanyalah Ron. Ia tahu Ron telah menaruh hati kepada Hermione ketika
sahabatnya itu menyadari bahwa Hermione adalah seorang ‘gadis’ pada
tahun keempat mereka. Bahkan bersaing dengan Viktor Krum pun mungkin tak
akan ada apa-apanya jika dibandingkan harus bersaing dengan Ron. Ron
adalah teman pertamanya. Sahabat pertamanya.
Di tahun kelima dan keenamnya ia mulai mencoba untuk membuka
hatinya untuk gadis lain. Mencoba menjadi pemuda normal yang mulai gila
dengan satu hal yang disebut cinta monyet. Ia mencoba menaruh hatinya
kepada Cho Chang dan Ginny Weasley. Tetapi ia tahu, ia tak akan pernah
bisa mencintai mereka seperti ia mencintai Hermione.
Dan hatinya kembali hancur berkeping-keping ketika ia melihat reaksi
Hermione kepada Ron yang saat itu berkencan dengan Lavender Brown.
Sikap itu telah membuktikan bahwa ia telah benar-benar kalah. Hermione
menyukai Ron, begitu juga sebaliknya. Ron berkencan dengan Lavender
hanya didasari oleh hasrat semata, bukan cinta. Ia tahu bahwa Ron masih
sangat mencintai Hermione.
Ia sebagai sahabat harus turut berbahagia jika kedua sahabat baiknya
akhirnya menjadi sepasang kekasih. Walaupun hatinya berteriak, ia harus
merelakannya. Ron pemuda yang baik, bahkan sangat baik. Jadi, jika
Hermione tak bisa berbahagia bersama dirinya, paling tidak gadis itu
bisa berbahagia bersama Ron. Dan melihat Hermione berbahagia adalah
sumber asupan oksigen terbesar bagi paru-parunya.
Langkah demi langkah menuju kematiannya ia habiskan dengan
memikirkan Hermione. Mungkin harapannya untuk membahagiakan gadis itu
memang sudah kandas, tetapi paling tidak masih ada Ron yang bisa
meneruskan harapannya.
oOoOo
Harry menyeret kedua
kakinya menuju tempat keberadaan Voldemort―sang algojo yang akan
membunuhnya nanti. Saat menuruni tangga, ia melihat kedua sahabatnya
duduk berdua sambil berpelukan di salah satu anak tangga, saling
melindungi. Dan ia hanya bisa tersenyum pahit melihat mereka. Dengan
mengenakan Jubah Gaib peninggalan ayahnya, ia menuruni tangga tersebut
dengan sangat pelan dan berhati-hati agar kedua sahabatnya itu tak
menyadari keberadaanya. Sebagian dirinya menginginkannya untuk kembali
dan mencari jalan lain menuju hutan terlarang, sedangkan sebagian
dirinya yang lain menginginkannya untuk melihat wajah kedua sahabatnya
itu―terutama Hermione― untuk terakhir kalinya.
Tetapi dia menyadari, hal terakhir yang ia inginkan saat ini adalah
wajah penuh ketakutan dan kesedihan dari kedua sahabatnya itu. Dan
akhirnya ia memutuskan bahwa ia akan menghadapi kematian seorang diri.
Ia tak ingin mereka berdua mencegahnya.
Jika di dunia Muggle orang yang akan dihukum mati bisa mendapatkan
permintaanterakhirnya, ia juga ingin mendapatkan hal itu. Kalau ia
bisa, ia ingin berdansa dengan Hermione―seperti di tenda dulu. Itu
adalah momen paling membahagiakan dalam hidupnya. Hanya sekejap memang,
tetapi begitu membekas di hatinya.
Pelan tapi pasti, akhirnya ia berhasil melewati anak tangga di
mana kedua sahabatnya itu sedang duduk sambil berpelukan. Deru napas
lega baru saja ia hembuskan ketika ia mendengar ada seseorang yang
memanggil namanya.
“Harry, kaukah itu?” kata Hermione. Gadis itu tiba-tiba berdiri dan menatap ke arah Harry.
Dengan jantung yang semakin berdebar keras, Harry berusaha untuk
pergi menjauh. Tetapi kedua kakinya membeku dan tak mau bergerak dari
tempatnya berpijak saat ini.
“Harry! Aku tahu kau berada di situ. Aku tahu kau ada di balik
Jubah Gaibmu. Aku dapat mendengar hembusan napasmu.” Hermione kembali
berteriak dan mencoba menggapai-gapai ke arahnya. “Buka jubahmu,
Harry!”
Hermione masih menggapai-gapai ke arahnya, dan Ron hanya diam saja
dengan ekspresi penasaran serta takut di wajah pemuda itu. Harry masih
diam membeku, kakinya terasa melekat erat di lantai dingin kastil
tersebut.
“Harry!”
Dengan pasrah dan kenekatan ciri khas Gryffindor, Harry segera
membuka Jubah Gaibnya dan memandang lurus kedua sahabatnya. Jantungnya
masih berdetak kencang, dan dia bisa merasakan wajahnya agak memanas
karena malu.
“Kenapa kau bisa tahu?” tanya Harry dengan nada datar untuk menyembunyikan kecemasannya.
“Kenapa aku bisa tahu? Itu pertanyaan paling bodoh yang pernah
kudengar, Harry!” jawab Hermione galak. Gadis itu menatap Harry dengan
kedua mata cokelat yang sangat disukai oleh pemuda itu. “Pertanyaan yang
sebenarnya adalah, kenapa kau mengendap-endap sambil memakai Jubah
Gaibmu seperti itu? Apa yang sedang kau sembunyikan? Jangan bilang kau―”
Ucapan Hermione langsung terhenti. Pandangannya yang galak langsung
berubah nanar seakan mau menangis. Dan tiba-tiba saja, gadis itu
langsung memeluk Harry, menangis di bahu pemuda itu.
“Shhh… Her-Hermione, kenapa kau menangis seperti ini?” kata Harry serak, pura-pura tak tahu.
“Seharusnya kau jawab dulu pertanyaan dari Hermione tadi, Harry.
Kenapa kau bertingkah seperti itu? Apakah kau mau menyerahkan dirimu
begitu saja kepadaVoldemort? Jawab aku!” kata Ron. Pemuda itu akhirnya
ikut berbicara dengan suara yang tak kalah serak, ia tadi menangisi
kematian Fred. “Apakah menurutmu perjuangan kita sejak tadi itu
sia-sia, hah? Semua orang berjuang untuk menyingkirkan You-Know-Who dan
membantumu! Dan apa yang kau lakukan sekarang? Memberikan nyawamu
begitu saja padanya?”
Harry terpaku diam di tempatnya berdiri saat itu. Suaranya
tercekat. Jika ia bisa memilih, ia tak akan mau menjadi salah satu
bagian tubuh si brengsek tak berhidung itu. Tangannya masih membelai
lembut punggung Hermione yang sedang memeluknya erat. Dia tak tahu harus
bagaimana. Ini adalah hal paling terakhir yang diinginkannya sebelum
ia mati, yaitu kedua sahabatnya―khususnya Hermione, menangisi
kepergiannya.
“Jawab, Harry!” kata Ron mulai tidak sabar. “Menurutmu mengapa
kami terus berjuang? Menurutmu kenapa Fred, Remus, dan Tonks rela mati
di perang ini? Menurutmu kenapa Harry?”
“Maafkan aku.”
“Kenapa kau minta maaf? Aku hanya bertanya, Harry,” kata Ron,
menatap kedua mata Harry. “Aku tak ingin kehilangan saudara lagi, kau
tahu?”
Sunyi. Senyap…
Harry tetap tak bisa menjawab pertanyaan dari Ron. Dia masih
belum siap untuk memberitahukan kebenaran kepada kedua orang yang
paling penting dalam hidupnya itu.
Hermione telah melepaskan pelukannya. Dan Harry hanya bisa
termangu sedih melihat wajah gadis yang sangat dicintainya itu. Tak
tampak lagi gadis ceria yang selalu tersenyum kepadanya. Yang ada
hanyalah seorang gadis pejuang dengan noda-noda darah kering di sekitar
wajahnya. Matanya memerah dan bengkak karena gadis itu menangis sejak
tadi. Harry tak tega melihat Hermione seperti itu, ia harus segera
mengakhiri semua ini. Ia ingin melihat gadis itu tersenyum bahagia
lagi, seperti tahun-tahun yang telah mereka lewati dulu. Jika perang ini
berakhir, penderitaan ini semua akan berakhir. Dan untuk mengakhiri
semua penderitaan ini, maka ia harus mati.
“Apa yang kau lihat dalam memori Profesor Snape tadi Harry?”
Hermione kembali membuka pembicaraan, suaranya serak dan ia hampir
menangis lagi.
Harry terdiam, menunduk memandang lantai kastil. Ia tak tega untuk memberitahu kedua sahabatnya itu.
“Mungkin kau sudah tahu jawabannya, Hermione,” jawab Harry pelan,
memberanikan diri untuk menatap kedua bola mata cokelat gadis itu.
“Alasan aku dapat berbahasa ular dan dapat melihat ke dalam kepalanya,
pasti kau tahu alasannya.”
Harry ingin segera pergi dari sini kalau ia bisa, ia tak
sanggup melihat kedua wajah sahabatnya tersebut. Hermione berteriak,
dan kembali memeluk Harry dengan erat. Ron juga sepertinya mulai
mengerti apa yang terjadi, pemuda itu menundukkan kepalanya.
“Jangan katakan hal seperti itu padaku Harry James Potter!”
kata Hermione di sela tangisannya. Gadis itu memeluk Harry semakin
erat.
Dengan sisa tenaga yang masih dimilikinya, Harry melepaskan
Hermione yang memeluknya. Ia terkejut ketika melihat wajah gadis itu
yang begitu rapuh dan kuyu.
“Aku mohon, Hermione. Jangan menangis,” kata Harry kepada
Hermione. Dia tahu, dirinya sendiri pun sudah hampir tak mampu
membendung air matanya. “Aku harus melakukan ini. Jka aku tak mati,
maka ia juga tak akan mati. Sia-sia saja kita melawannya jika aku belum
mati. Aku Horcrux-nya Hermione. Kau pasti mengerti.”
Ron terdiam. Pemuda itu hanya menatap lantai sambil sedikit terisak.
“Harry! Please, jangan lakukan itu,” kata Hermione masih terisak
pelan, Ron memeluk pinggangnya. “Pasti ada cara lain, Harry. Kau
jangan melakukan itu. A-aku, a-aku―”
Hermione sudah tak sanggup menahan tangisnya lagi, ia
mengacuhkan pelukan Ron dan kembali memeluk Harry. Ia mengisak kencang
di bahu Harry. Pemuda itu dapat merasakan air mata Hermione yang
merembes di bajunya.
“Harry, please. Pasti ada cara lain.”
Harry tetap diam, dengan susah payah ia menahan air matanya agar
tidak keluar. Ia balik memeluk Hermione, mengecup rambut cokelat
mengembang gadis itu, dan tersenyum kecil. Ron masih terisak, dan ikut
memeluk Harry sekuat tenaganya.
“Harry…”
“Sudahlah. Jangan menangisi hal ini. Aku mohon,” kata Harry
sambil melepaskan pelukan kedua sahabatnya. “Aku dapat mengakhiri semua
ini, aku dapat membalas kematian semua orang yang telah pergi karena
dia. Aku hanya memohon kepada kalian―” belum sempat Harry menyelesaikan
kalimatnya, Hermione telah menerjangnya kembali dengan pelukan yang
hampir saja membuat pemuda itu terhuyung jatuh.
“Uhhh… Hermione, pelukanmu itu dapat membunuhku. Aku seharusnya
mati di tangan Voldemort, bukan di tanganmu Hermione.” Harry masih
berusaha untuk pura-pura tertawa dengan leluconnya sendiri. Dia tahu
leluconnya itu sangat amat tidak lucu, tetapi ia berusaha untuk
tertawa. Dan hasilnya, bibirnya hanya menampilkan sebuah senyuman miris.
“Aku hanya mohon satu hal kepada kalian―” Harry melepaskan
pelukan Hermione lagi dan mencengkeram bahu gadis itu dengan tangan
yang sedikit bergetar.
“Setelah aku mati nanti―tidak Hermione―aku mohon, kalian harus
memenggal kepala ular keparat itu. Setelah itu, tinggal Avada Kedavra
saja Voldemort, dan semuanya selesai. Dan… Aku mohon… Jangan menangis
lagi.”
“Harry…”
“Harry…”
“Sudahlah, waktu satu jam yang diberikan oleh Voldemort sudah
hampir habis. Aku harus pergi sekarang.” Harry berusaha untuk
menghilangkan rasa takutnya. Dia berusaha tersenyum kepada kedua
sahabatnya itu―senyum terakhirnya. “Aku pergi dulu. Kuharap kalian mau
memakamkanku di samping makam ayah dan ibuku nanti―”
“Harry…
please, jangan…” Hermione kembali menghambur ke pelukan Harry. Meskipun
ia mengerti kenapa Harry mau mengorbankan nyawanya, ia masih berusaha
untuk menahan pemuda itu.
“Aku harus pergi, Hermione. Aku benar-benar minta maaf, dan… aku
mencintaimu,” kalimat terakhir yang ia sebutkan itu sungguh berasal dari
dalam hatinya, dan ia membisikkannya dengan sangat lembut di dekat
telinga gadis itu.
Hermione menegang dalam pelukannya. Gadis itu melepaskan
pelukannya. Ia menatap Harry dengan sedih dari balik matanya yang
berkaca-kaca. Sementara Harry, ia masih tak mengerti bagaimana dirinya
memiliki pasokan air mata sebanyak itu.
Harry kembali menyelubungkan Jubah Gaibnya. Dengan langkah
berat, pemuda itu meninggalkan kedua sahabatnya yang masih terisak
keras di belakangnya. Sebelum ia melangkahkan kakinya menuju takdir
terakhirnya, ia sempat mendengar suara serak Ron yang berteriak, “Aku
harap kau selamat.”
Harry tersenyum kecil. Ia tahu, cara kematian ini tak terlalu
buruk baginya. Ia telah menyatakan perasaan terdalamnya kepada
Hermione. Dan itu sudah cukup.
oOoOo
Perang Besar telah
berakhir. Sang Penguasa Kegelapan telah dimusnahkan oleh para
sahabat-sahabat The-Boy-Who-Lived. Sang Terpilih telah tewas karena
mengorbankan nyawanya sendiri. 2)
Dan ia―sesuai keinginannya, dimakamkan di samping makam kedua
orangtuanya, Godric’s Hollow. Pemakamannya dihadiri oleh banyak orang
dan dari segala golongan. Semuanya menangis pilu di pemakamannya.
Hermione berdiri diam di samping makam Harry. Tak ada air mata
lagi yang mengalir dari matanya. Ia berdiri diam, tampak rapuh dan
hancur. Ia masih tak bisa menerima bahwa kedamaian dunia sihir dan
kematian penjahat tak berhidung itu harus dibayar mahal oleh kematian
orang yang sangat penting dalam hidupnya, Harry Potter.
“Aku juga mencintaimu, Harry,” kata Hermione dalam hati saat
peti pemuda itu diturunkan. Dan seketika itu juga, butir-butir air mata
keluar dari kedua bola mata cokelat madunya. “Seandainya saja kau
mengatakannya sejak dulu―”
“Mungkin kisah ini akan berakhir lain,” bisik sebuah suara yang semakin lama semakin memudar.
- END -
1) Harry Potter dan Relikui Kematian hal. 914
2) Di fic ini Harry memilih untuk menaiki kereta saat ia diberi pilihan oleh Dumbledore di King Cross.
*Special Thanks buat kak Chels tersayang yang udah mau nge-Beta fic gaje ini :D